Tahun 2012 yang telah berlalu meninggalkan kita sepekan silam cukup banyak menorehkan kebahagiaan terhadap perfilman Indonesia. Beberapa sineas bersuka cita lantaran film yang dikomandoinya berjaya di festival serta ajang penghargaan bertaraf internasional yang turut berdampak kepada mulai diliriknya film-film buatan anak bangsa oleh masyarakat dunia. Di samping keceriaan menyambut sejumlah film yang mengharumkan nama bangsa, para pekerja film di dalam negeri yang belum berkesempatan untuk memboyong filmnya ke luar dari Indonesia pun turut berpesta pora melihat penonton berduyun-duyun menggerebek bioskop demi menyaksikan film nasional. Pemandangan yang dalam dua tahun terakhir ini tidak kita jumpai di Indonesia.
Setelah di tahun 2011 tidak ada satupun film nasional yang mampu menembus angka 1 juta penonton, sikap pesimis mulai melanda berbagai pihak. Tidak tanggung-tanggung, ada pula yang mengkhawatirkan perfilman nasional akan kembali dilanda ‘mati suri’ seperti yang terjadi di pertengahan tahun 1990-an terlebih produksi film horor komedi instan serta film berbumbu seks mengalami peningkatan dan rupanya cukup diminati oleh publik. Setelah harapan seolah sudah pupus, datanglah The Raid. Sebelum resmi diputar di bioskop-bioskop Indonesia, The Raid terlebih dahulu melanglang buana dari satu festival ke festival lain. Mendapat puja puji dari sejumlah insan perfilman dunia membantu meringankan beban PT Merantau Films dalam berpromosi. Bisik-bisik dan kicauan di jejaring sosial perihal film ini pun perlahan tapi pasti mulai bertebaran. Masyarakat Indonesia pun dibuat penasaran, seheboh apa sih The Raid hingga Sony Pictures bersedia untuk mendistribusikannya ke Amerika Serikat?
Kala The Raid akhirnya resmi memasuki jaringan 21 dan Blitz, masyarakat pun melakukan ‘serbuan maut’ ke bioskop dalam beragam bentuk. Nonton bareng komunitas yang telah langka dilaksanakan untuk film dalam negeri digelar dari Sabang hingga Merauke. Film arahan Gareth Evans ini pun sukses membukukan angka 1,8 juta penonton di akhir masa tayangnya. Nyaris tiga kalinya raihan jumlah penonton Surat Kecil Untuk Tuhan yang merupakan film terlaris di tahun sebelumnya. Gegap gempita yang berlangsung selama beberapa bulan ini nyatanya tidak berlanjut ke bulan-bulan berikutnya. Musim paceklik penonton kembali melanda. Sedikit kejutan di pertengahan tahun datang dari Soegija, film garapan Garin Nugroho, yang berhasil mendatangkan komunitas gereja untuk memenuhi bioskop. Berkat trik promosi yang jitu serta munculnya kontroversi disana sini lantaran dianggap sebagai usaha kristenisasi dan penyebaran agama Katolik, 459 ribu penonton berhasil dicapai. Angka yang terbilang rendah sebenarnya, tapi mengingat semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang ogah-ogahan untuk mendukung karya sineas dalam negeri dengan menyaksikannya langsung di layar lebar serta adanya gempuran dari film-film musim panas milik Hollywood, maka ini dapat diterima.
Harapan untuk melihat ledakan jumlah penonton pun tinggal tersisa kepada film Lebaran yang disebut-sebut sebagai musim panasnya Indonesia. Umumnya, pada masa ini jumlah penonton yang menyambangi bioskop melonjak dua hingga tiga kali lipat ketimbang hari-hari biasa. Maka tradisi untuk melempar film lokal rilisan terbaru menjelang Lebaran pun dipertahankan. Sayangnya, libur panjang Lebaran di tahun 2012 ini tidak membawa torehan rekor anyar. Jumlah penonton selama Lebaran 2012 tidak melebihi 1,5 juta. Sumbangan terbesar didapat dari Perahu Kertas yang menggiring 588 ribu penonton, sementara ketiga film lainnya mentok di kisaran 150 – 200 ribu penonton. Coba bandingkan dengan tahun 2011 dimana Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tendangan Dari Langit tidak terpaut jauh dalam hal mengumpulkan penonton.
Bulan-bulan berikutnya berlangsung datar tanpa ada kejutan berarti. Ditilik dari segi kualitas, kita boleh tersenyum karena ada peningkatan di sana. Para sineas berani menjajal tema baru dengan penggarapan yang serius dan pengemasan yang menarik. Hanya saja, penonton tetap menanggapi dingin seolah tidak peduli seramai apapun tanggapannya di jejaring sosial. Senyum kecut mengembang. Rumah Kentang dan Perahu Kertas 2 yang dijagokan akan sanggup menjual banyak tiket bahkan ngos-ngosan dalam perjalanan mengumpulkan 400 ribu penonton. Memasuki akhir tahun, harapan yang di awal tahun bersinar terang benderang perlahan mulai meredup menuju kematian. Nyaris tidak ada kesempatan terlebih banyak film raksasa dari Hollywood yang siap menguasai bioskop. Benar saja, selama November, penonton lebih memilih untuk berdesak-desakkan demi melihat jilid akhir kisah cinta manusia dengan vampire, kebangkitan seorang agen rahasia dari kematian, atau perjuangan hidup seorang remaja di lautan yang ganas bersama seekor harimau, ketimbang menyimak Hello Goodbye, Jakarta Hati, Langit Ke-7, atau Atambua misalnya. Hello Goodbye masih beruntung mengais lebih dari 100 ribu penonton di saat rekan-rekannya tiarap.
Kejutan sesungguhnya datang di bulan Desember. Siapapun tidak ada yang menduga jika 5 cm dan Habibie & Ainun mampu merengkuh 2 juta penonton apalagi keduanya dirilis dalam waktu yang berdekatan. Bisa mencapai 500 ribu penonton saja sudah Alhamdulillah. Nyatanya, kian hari, kedua film ini kian menggila. The Hobbit yang digadang-gadang bakal menyusul kesuksesan trilogi The Lord of the Rings terpaksa mengakui keperkasaan 5 cm dan Habibie & Ainun. Bahkan, pernah dalam sekali waktu, 390 layar dari 700 layar di seluruh Indonesia digunakan untuk memutar film yang masing-masing dibesut oleh Rizal Mantovani dan Faozan Rizal ini. Habibie & Ainun juga sempat merasakan ditayangkan di 243 layar saat libur Natal. Kesuksesan dua film ini rupanya turut membawa berkah bagi Potong Bebek Angsa (PBA) dan Cinta Tapi Beda (CTB) yang awalnya sama sekali tidak diperhitungkan. Baik PBA maupun CTB sukses menjaring 200 ribu penonton lebih. Sebuah kisah manis di penghujung tahun 2012.
Jadi, setelah sedikit mengulas mengenai raihan jumlah penonton film Indonesia 2012, apa yang bisa kita dapatkan? Pertama, setidaknya separuh dari 10 film yang bertengger di deretan film terlaris adalah adaptasi dari novel atau buku ‘best seller’. Di posisi 5 besar, hanya The Raid yang beranjak dari naskah asli sementara Habibie & Ainun, 5 cm, Negeri 5 Menara, dan Perahu Kertas mengambil sumber cerita dari tulisan yang telah dibaca jutaan orang sebelumnya. Kedua, di saat genre drama mendominasi, penonton mulai menjauhi genre horror. Tercatat hanya ada tiga film; Nenek Gayung, Rumah Kentang, dan Rumah Bekas Kuburan, yang mewakili film memedi. Malahan, bisa saja Rumah Bekas Kuburan tersingkir jika melihat PBA dan CTB yang jumlah penontonnya sedikit lagi melampaui.
Fenomena ini membuat saya penasaran dengan perfilman Indonesia di tahun ini. Menarik untuk menyimak film-film apa saja yang akan berjaya. Akankah film adaptasi novel ‘best seller’ masih menjadi pilihan bagi para produser yang tak ingin mengambil resiko? Pertanyaan yang lebih penting, akankah film adaptasi masih tetap unggul dan sekali lagi menumbangkan film-film dengan ide cerita asli? Atau, pertanyaan yang lebih lebih penting lagi, akankah ada dobrakan baru di ranah horror setelah jumlah penontonnya mengalami kemerosotan atau malah memilih untuk menutup mata dan mengulang kembali resep lama yang telah usang?
Note: Inilah 10 film Indonesia terlaris sepanjang 2012 mengutip dari situs filmindonesia.or.id. Data hingga tanggal 6 Januari 2013:
1. Habibie & Ainun (2.500.000)
2. 5 cm (2.100.000)
3. The Raid (1.800.000)
4. Negeri 5 Menara (765.000)
5. Perahu Kertas (588.000)
6. Soegija (459.000)
7. Nenek Gayung (430.000)
8. Rumah Kentang (400.000)
9. Perahu Kertas 2 (389.000)
10. Rumah Bekas Kuburan (279.000)