"Apa yang dibangun dengan pengkhianatan, diakhiri dengan pengkhianatan."
Sebagai bagian dari generasi 90-an, saya tidak turut merasakan kebahagiaan menyaksikan film-film silat buatan anak bangsa yang menyesaki bioskop pada dekade 80-an. Yang justru saya dapatkan, film syur dengan tampilan poster dan judul yang menggoda. Ketika akhirnya genre ini menghilang sama sekali dari layar lebar, para produser berinisiatif untuk memindahkannya ke layar kaca sebagai tontonan mingguan. Saya tidak pernah absen untuk menyimaknya terlebih orang tua sangat menggemari tontonan jenis ini. Pada awalnya, sebelum era sinetron stripping dimulai, Misteri Gunung Merapi, Tutur Tinular, hingga Angling Dharma adalah sajian yang mengasyikkan untuk disantap. Tapi layaknya film kolosal Indonesia yang perlahan hancur karena terlalu banyak menyuntikkan elemen seksualitas ke dalam penceritaan, maka serial silat kolosal di televisi tenggelam disebabkan oleh penceritaan yang melenceng kemana-mana. Perlahan tapi pasti, kepercayaan masyarakat hilang.
Apabila kita membicarakan sinetron laga / silat di salah satu stasiun televisi, hanya cemooh belaka yang meluncur dari mulut. Maka ketika di masa suram bagi tontonan jenis ini Hanung Bramantyo menelurkan Gending Sriwijaya, banyak yang bertanya-tanya, sanggupkah? Ini tentunya proyek yang penuh dengan resiko. Jawaban yang didapat usai menyaksikannya di layar lebar, sanggup tidak sanggup. Sebagai sebuah film secara keseluruhan, Gending Sriwijaya sama sekali tidak mengecewakan dengan jalinan kisah yang memikat serta jajaran pemainnya yang bermain kuat. Hanung Bramantyo pun patut mendapat acungan dua jempol atas usahanya untuk mengangkat sebuah genre yang telah lama terpinggirkan dan kesediannya untuk mengeksplorasi kemampuannya dalam berbagai genre di film-film yang dikomandoinya. Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan, masyarakat masih belum benar-benar percaya bahwa ada sebuah film kolosal yang tergarap dengan baik. Dengan raihan penonton yang terbilang tidak menggembirakan, Gending Sriwijaya kudu rela bergabung dengan puluhan (atau malah ratusan?) film Indonesia yang mempunyai kualitas di atas rata-rata namun ditanggapi dingin oleh masyarakat karena satu dan lain hal. Miris.
Meski mengambil latar belakang sejarah sebagai bangunan cerita, sejatinya apa yang dituturkan oleh Hanung Bramantyo tidak lebih dari sebuah kisah fiksi. Film berlatar di abad ke-16, 300 tahun setelah Kerajaan Sriwijaya mengakhiri masa kejayaannya. Semenjak itu, munculah kerajaan-kerajaan kecil yang saling memperebutkan kekuasaan. Salah satunya, dan yang menjadi sorotan utama, adalah Kedatuan Bukit Jerai yang dipimpin oleh Dapunta Hyang (Slamet Rahardjo) dan Ratu Kalimanyang (Jajang C. Noer). Dengan usia yang kian uzur, Dapunta Hyang kudu segera mencari pewaris yang sanggup menggantikannya dalam memimpin kerajaan. Dua putranya, Awang Kencana (Agus Kuncoro) dan Purnama Kelana (Sahrul Gunawan), dirasa telah siap untuk dijadikan pemimpin. Ketika tradisi mengharuskan putra tertua dinobatkan sebagai pewaris tampuk kekuasaan, Dapunta Hyang memutuskan untuk melanggarnya dengan menunjuk Purnama Kelana sebagai pengganti. Keputusan Sang Raja disambut petaka. Belum juga Purnama Kelana naik tahta, Dapunta Hyang ditemukan tewas terbunuh. Bukti yang tertinggal di tempat kejadian perkara mengarah pada Purnama Kelana. Tak bisa mengelak, si bungsu pun melarikan diri dari istana dan menetap sementara bersama pemimpin kelompok perampok, Ki Goblek (Mathias Muchus), dan putrinya, Malini (Julia Perez). Di waktu bersamaan, Awang Kencana mendapatkan keinginannya untuk menduduki tampuk pimpinan tertinggi dalam kerajaan.
Menyaksikan film semacam ini kerapkali membawa kesenangan tersendiri terlebih jika dipenuhi dengan berbagai intrik dan konflik kepentingan yang melingkupi kehidupan kerajaan di dalamnya. Gending Sriwijaya memiliki itu. Dengan Hanung Bramantyo merancang film ini sebagai sebuah fantasi yang tak patuh pada sejarah, maka dia bisa dengan leluasa dan sesuka hatinya dalam berceloteh termasuk untuk urusan sindir menyindir kondisi pemerintahan Indonesia masa kini dan mengapungkan isu-isu sosial tanpa harus mengkhawatirkan akurasi sejarah. Durasi sepanjang 138 menit dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menghantarkan kisah meski tetap saja ada satu dua bagian yang dirasa kurang perlu dan berpanjang-panjang. Yang menjadi permasalahan utama sebenarnya bukanlah terletak pada jalinan penceritaan yang ‘draggy’, melainkan upaya pemadatan kisah sehingga film tidak kelewat panjang. Beberapa momen penting yang seharusnya mampu meningkatkan intensitas cerita dihadirkan selewat diakali dengan memanfaatkan teknik animasi. Apakah ada maksud lain di balik penyampaian cara ini selain untuk menghemat durasi dan biaya? Karena sungguh sayang sekali titik-titik penting dalam film malah justru tidak digali lebih mendalam.
Menilik performa dari departemen lain, maka saya harus mengakui dibuat terkagum-kagum dengan departemen akting dimana jajaran pemainnya bermain sangat kuat sehingga mampu mengangkat Gending Sriwijaya ke jajaran ‘film terhormat’. Mathias Muchus, Yati Surachman, Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer dan Teuku Rifnu Wikana sekali lagi tidak main-main dalam memainkan peran mereka dengan menyuguhkan sebuah performa kelas wahid. Para aktor-aktris kawakan yang bersinar terang sekalipun ditempatkan pada posisi pendukung cenderung membahayakan posisi pemain utama apabila tidak sanggup mengimbangi. Untungnya, di bawah pengarahan Hanung Bramantyo yang memang sudah dikenal lihai dalam mengarahkan pemain, Sahrul Gunawan, Agus Kuncoro, dan Julia Perez tetap sanggup tampil menonjol nan menawan. Agus Kuncoro sebagai putra sulung yang mengidamkan tampuk kekuasaan berhasil memberikan nyawa kepada tokoh yang diperankannya sehingga penonton pun dapat bersimpati sekaligus gregetan kepada Awang Kencana, sementara Julia Perez... ini yang menarik. Dia sanggup membungkam mulut siapapun yang meragukan kemampuan aktingnya. Ya, dia memang pernah tampil bagus dalam Cinta Setaman dan Sssttt... Jadikan Aku Simpanan, akan tetapi perannya sebagai Malini adalah pencapaian terbaiknya dalam seni peran. Tampil dekil dan jauh dari kesan Jupe seksi seperti yang biasa kita lihat, dia memberi penampilan yang meyakinkan kala beradegan laga tanpa harus keteteran saat dipaksa oleh skrip untuk memunculkan emosinya.
Pujian lain patut disematkan kepada tata produksi yang tertata dengan sangat rapi. Lihat saja bagaimana tata rias, tata kostum, tata artistik, tata koreografi hingga tata musik di bawah komando Djaduk Ferianto sanggup berjalan selaras dan saling menopang satu sama lain. Hal ini memberikan efek megah kepada Gending Sriwijaya, terutama berkat koreografi laganya yang tertata dengan sangat rapi, detil, sekaligus meyakinkan. Inilah yang menjadi nyawa film, di samping kekuatan akting pemainnya dan skrip buatan Hanung Bramantyo. Ya, meski adegan laganya tak terlalu sering muncul – karena niat Hanung pada awalnya membentuk film ini sebagai drama, bukan kolosal – namun Hanung berhasil menempatkannya dalam titik-titik krusial sehingga tidak terkesan hanya sebagai tempelan atau pembangkit minat semata. Pun begitu, tentu hal ini tidak serta merta rapi jali, hadir tanpa kekurangan. Saya mencatat, setidaknya ada sejumlah bagian yang terkesan tak rapi dalam pengerjaannya. Sebagai contoh, extreme long shot Kedatuan Bukit Jerai di malam hari yang menyerupai maket. Herannya, ini tidak dimunculkan hanya sekali, tapi beberapa kali sehingga terasa menggelikan. Oh, sayangnya...
Meski Gending Sriwijaya mempunyai kekurangan disana-sini, terutama untuk departemen artistik dan skrip rekaan sang sutradara yang masih kurang mendalam dalam pembentukan karakter serta penggalian kisah, akan tetapi upaya Hanung Bramantyo untuk menghadirkan sebuah variasi tontonan serta menghidupkan kembali film silat dengan percampuran antara fantasi dan sejarah patut mendapat apresiasi lebih. Bahkan, sejujurnya, Gending Sriwijaya pun bukan film yang buruk. Malahan sama sekali tidak buruk. Ini adalah sebuah film yang seharusnya tidak dilewatkan oleh mereka yang mengaku pecinta film, terlebih bagi yang belum sempat berkenalan dengan genre ini. Gending Sriwijaya sukses dihantarkan sebagai sebuah hidangan yang lezat berkat kepiawaian Hanung Bramantyo dalam menjejalkan intrik kerajaan yang memikat demi menutupi lemahnya pendalaman kisah, tata produksinya yang mengagumkan terutama di sektor koreografi laga, serta jajaran pemainnya yang berakting cemerlang dalam menghidupkan tokoh-tokoh yang mereka perankan, khususnya Agus Kuncoro dan Julia Perez.
Exceeds Expectations