"Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang mau kamu kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu."
Seusai Air Terjun Pengantin yang mencetak kesuksesan luar biasa di tangga box office meski kudu menerima cercaan dari sejumlah penikmat film, Rizal Mantovani ‘anteng-anteng saja’ dan malah membesut beberapa film yang nyaris tak tercium keberadaannya. Diprediksi karirnya akan kian memburam, tak dinyana-nyana di penghujung tahun 2012 Rizal Mantovani mencetak sebuah rekor raihan penonton melalui garapan teranyarnya, 5 cm, yang diangkat dari novel laris hasil buah karya Donny Dhirgantoro. Di tengah musim paceklik penonton yang melanda perfilman nasional, 5 cm berhasil menggiring 500 ribu penonton ke bioskop hanya dalam tempo 5 hari pertama penayangan! Sungguh sebuah prestasi yang menakjubkan. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal ini bukan sesuatu yang mengherankan. 5 cm adalah sebuah ‘popcorn movie’ dimana para penonton dimanjakan dengan sinematografi yang cantik, asupan komedi yang tinggi, serta mengusung jalinan kisah yang dekat dengan kehidupan anak muda zaman sekarang. Bisa jadi, saat ini Rizal Mantovani sedang tersenyum seraya berkata, “saya tahu apa yang kalian semua inginkan!.”
Apabila yang diulik dari film ini tak lebih dari sekadar persahabatan antara lima orang komplit dengan bumbu-bumbu konflik yang menyertainya, maka mungkin hanya segelintir penonton yang meliriknya. “Apa yang baru dari ini? Kita sudah menyaksikannya berulang kali.” Mungkin seperti itulah teriakan dari penonton. Maka, Donny Dhirgantoro yang harus diakui cermat melihat pangsa pasar pun memboyong kisah persahabatan yang maha klise ini ke Puncak Mahameru. Mengingat masyarakat dewasa ini, khususnya remaja, banyak yang menggilai pendakian gunung serta ‘travelling’, keputusan untuk memasukkan kisah melangkahkan kaki melalui jalan setapak menuju puncak tertinggi di Jawa yang berpasir, penuh batu, dan ilalang dengan jurang menganga menjadi pemandangan di sekeliling tak bisa lebih tepat lagi. Ini menjadi semacam penyegaran setelah pantai dan objek wisata di negeri orang telah berulang kali dibidik oleh sineas nasional. Pemandangan Mahameru yang ‘Subhanallah indah sekali’ tentu menjadi daya tarik utama dari 5 cm. Saya berani menjamin, siapapun yang gemar berwisata akan segera merencakan jadwal perjalanan ke gunung berapi aktif ini seusai menyimak 5 cm di layar lebar.
Perjalanan mendaki Puncak Mahameru dimulai setelah lima sahabat; Genta (Fedi Nuril), Arial (Denny Sumargo), Zafran (Herjunot Ali), Riani (Raline Shah), dan Ian (Igor Saykoji), bereuni seusai tiga bulan lamanya saling menjauh dan tak bertegur sapa. Keputusan untuk berpisah sejenak dibuat demi menghilangkan rasa jenuh dalam hubungan persahabatan mereka yang tengah hinggap setelah sepuluh tahun lamanya senantiasa bersama tak pernah terpisahkan. Mereka berkumpul di Stasiun Senen pada tanggal dan jam sesuai dengan kesepakatan. Bergabung bersama kelompok adalah adik Arial, Dinda (Pevita Pearce), yang sudah lama menjadi incaran Zafran. Kecuali Genta, tak satupun dari para petualang ini yang mengetahui ke arah mana kereta ekonomi yang mereka tumpangi akan berhenti. Genta tidak sedikit pun membeberkan petunjuk mengenai liburan ini kepada sahabat-sahabatnya dan hanya berkata, “yang jelas perjalanan ini nggak akan kalian lupakan!”. Meski tidak dibekali petunjuk apapun dalam film, penonton tahu bahwa keenam sahabat ini hendak menuju Puncak Mahameru. Yah, trailer, poster, dan sinopsis telah berbicara banyak.
Saya tidak bisa memungkiri bahwa 5 cm adalah sebuah sajian hiburan yang menghibur. Ini adalah jenis film yang cocok ditonton untuk melepas penat. Seperti yang telah saya utarakan di paragraf pembuka dan kedua, kekuatan utama dari film ini bertumpu pada sinematografinya yang memanjakan mata. Kecantikan Mahameru benar-benar terpancarkan di sini berkat kelihaian Yudi Datau dalam mengabadikan gambar. Mereka yang telah menjejakkan kaki di sana akan membusungkan dada dan memamerkannya kepada teman yang duduk di sebelahnya, sementara mereka yang belum berkesempatan untuk menghirup segarnya udara pegunungan di Mahameru hanya bisa menatap ke layar dengan air liur yang menetes-netes sembari mendengar ocehan penonton sebelah yang tiada berkesudahan. Pendakian yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini pun menjadi semakin terasa menyenangkan dan tidak sekalipun terasa berat berkat ocehan-ocehan dan tingkah laku Ian, Zafran, dan Arial yang senantiasa mengundang tawa. Jangan lupakan pula sumbangsih dari Nidji beserta The Future Conspiracy untuk film yang mana musik gubahan mereka sedikit banyak membuat sejumlah adegan menjadi terasa lebih greget. Berkat visual yang maha cantik, suntikan humor segar, serta musik yang menghanyutkan inilah, 5 cm terselamatkan.
Terselamatkan? Ya, Anda tidak salah baca. Penyelamat dari film ini adalah keagungan Tuhan yang diperlihatkan dalam pesona alam Mahameru yang sulit untuk dilupakan, segala canda tawa yang dituturkan dan dilakonkan oleh trio lawak tersebut serta musik skor hasil kreasi Nidji dan The Future Conspiracy karena sejatinya dari segi penceritaan, 5 cm seolah kehilangan arah. Paruh pertama yang terbangun dengan apik mendadak menukik turun secara drastis tatkala mencapai bagian dimana mereka tiba di lokasi yang dirahasiakan oleh Genta. Dengan secepat kilat, Rizal Mantovani membanting setir dari sebuah film persahabatan menjadi sebuah film nasionalisme dengan dialog yang sepertinya dicomot dari buku ajar PPKN. Seolah belum cukup, dihadirkan twist yang mengungkap jalinan asmara segi rumit diantara para tokoh. Kebahagiaan saya pun roboh seketika dan rasanya ingin mencari pohon pisang terdekat untuk kemudian terjun. Tidak ada yang salah dengan segala tetek bengek yang disebut nasionalisme atau romansa yang memelintir ini apabila Donny Dhirgantoro dan Rizal Mantovani meluangkan waktu sejenak untuk membangun pondasi atau latar belakang selama kisah berjalan. Masalahnya... ini semua dimunculkan secara tiba-tiba tanpa terlebih dahulu diberi aba-aba. Jika apa-yang-kita-sebut nasionalisme ini hadir dengan sebegitu mudahnya hanya dengan mendaki gunung, mengapa kita tidak bawa saja para koruptor ke Mahameru? Dan apa maksud dari taburan kisah romansa di penghujung film? Sangat tidak perlu, mubazir, dan tentunya mencederai filmnya itu sendiri.
Sungguh disayangkan sekali trio Donny Dhirgantoro, Sunil Soraya, dan Hilman Mutasi tidak memilih untuk menggali lebih dalam kisah persahabatan diantara enam orang ini di kala mendaki. Benih-benih asmara yang timbul pun akan menjadi lebih menggigit apabila diberi porsi secukupnya saja, dan bukannya malah justru mengambil alih kemudi cerita di paruh akhir. Keputusan untuk mengubah salah satu tokoh menjadi pribadi yang nasionalis hingga mengorbankan mimpi besarnya terlalu dipaksakan dan rasa-rasanya tidak akan Anda jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Like, seriously? Dan ini masih diperparah dengan detil-detil tak tepat macam pakaian yang dikenakan untuk mendaki, kecelakaan dalam perjalanan menuju puncak, atau rambut yang senantiasa tergerai indah. Sesaat setelah membaca tulisan ini mungkin Anda gatal untuk berkomentar, “nyudutin 5 cm mulu, emangnya kamu bisa bikin film?”. Tidak ada maksud untuk menyudutkan film ini, sama sekali tidak ada. Justru sebaliknya, saya sangat peduli dengan 5 cm. Sungguh sangat disayangkan film yang memiliki potensi untuk menjadi sebuah film yang sangat baik ditilik dari segi kualitas harus berakhir mengecewakan hanya karena tim penulis dan Rizal Mantovani yang terlalu ambisius untuk menjadikan 5 cm sebagai sebuah paket yang komplit. Akibatnya, 5 cm tidak lebih dari sekadar sebuah produk untuk ‘senang-senang belaka.’ Sebagai sebuah hiburan, film ini memang nyaris memenuhi segalanya, tapi tidak sebagai film yang baik. Beruntung masih ada kecantikan Mahameru, guyonan-guyonan segar, serta iringan musik dari Nidji dan The Future Conspiracy yang berjasa menyelamatkan 5 cm dari keterpurukan. Dan pada akhirnya saya pun membatin, "kau belum sepenuhnya tahu apa yang kita inginkan, Rizal."
Acceptable