"Mommy was very bad." - Silva
Seperti biasa, saya duduk manis di dalam bioskop ditemani segelas minuman bersoda serta berondong jagung asin yang menggoyang lidah hanya beberapa menit sebelum film utama dimulai demi menghindari trailer yang kerapkali mengumbar spoiler tanpa diminta. Untuk sesi kali ini, saya mengajak partner in crime tercinta untuk melahap Skyfall bersama supaya dapat berdiskusi ringan seusai menonton. Setelah beberapa iklan dari sponsor berseliweran di depan saya, lampu mulai diredupkan pertanda film segera dimulai. Dengan tampuk kepemimpinan ditempati oleh Sam Mendes, rasa penasaran pun menguasai diri. Akan seperti apa jadinya James Bond di tangan seorang sutradara yang terbiasa mengolah sajian drama bernuansa muram penuh pendalaman karakter dengan konflik utama yang seringkali tidak jauh-jauh dari kehidupan rumah tangga atau keluarga? Berdasarkan apa yang diutarakan oleh Mendes dalam sebuah wawancara, Skyfall sedikit banyak terinspirasi kepada cara Christopher Nolan memerlakukan Batman dalam The Dark Knight. Maka bukan sesuatu yang mengejutkan apabila film ini akan terasa lebih gelap ketimbang dua pendahulunya dari ‘generasi Daniel Craig’, Casino Royale dan Quantum of Solace.
Mantan suami dari Kate Winslet ini langsung menggiring penonton ke dalam sebuah adegan pembuka yang memompa adrenalin. Berawal di Istanbul, Turki, ingatan segera tertuju kepada Taken 2 yang belum lama rilis dimana Liam Neeson memporak-porandakan Istanbul demi menyelamatkan istri tercinta. Tidak mau kalah dengan Neeson, Daniel Craig yang kembali mengulang perannya sebagai agen MI6 bernama James Bond pun turut ‘menggila’ di sudut-sudut kota Istanbul bersama Eve (Naomie Harris) – yang juga merupakan agen MI6 – dalam sebuah ‘car chase scene’ guna menangkap seorang mercenary dari Prancis, Patrice (Ola Rapace). Setelah beberapa desingan peluru, pengejaran tidak lantas berakhir. Bond berkejar-kejaran dengan Patrice di tengah lalu lintas ibu kota Turki yang padat menggunakan sepeda motor. Hanya beberapa menit kemudian, mereka berdua kembali berganti alat transportasi. Pertarungan terakhir yang mendebarkan berakhir di atas gerbong kereta. M (Judi Dench), melalui telepon, memerintahkan Eve untuk segera menembak Patrice. Sayangnya, Bond nyaris senantiasa berdekatan posisinya dengan Patrice. Salah perhitungan, Eve bisa-bisa malah menembak Bond. Dengan waktu yang kian menipis, posisi yang kian sulit, dan M yang terus mendesak, Eve pun terpaksa melancarkan tembakan. Peluru yang seharusnya menyasar Patrice, justru mengenai Bond. Bond yang tertembak, jatuh ke sungai. Dengan para agen MI6 mengasumsikan bahwa Bond telah berpulang, Mendes pun segera mengusir pawang hujan supaya gerimis menyirami London dalam nuansa berkabung. Akan tetapi, Anda tentu tidak percaya jika Bond tewas dengan begitu mudahnya, bukan?
Oh, tentu saja Bond tidak tewas. Setelah adegan pembuka dengan racikan adegan aksi menegangkan yang ditimpali dengan bidikan kamera yang cemerlang oleh Roger Deakins untuk menangkap panorama indah dari kota dan wilayah pedesaan di Turki, suara Adele yang khas langsung menyambut melalui lagu tema ‘Skyfall’ yang disenandungkan dengan amat merdu dan mampu meracuni pikiran. Meski awalnya terdengar seperti lagu yang mudah untuk dilupakan dalam sekejap, namun pada kenyataannya lagu ini malah justru membekas dan senantiasa saya senandungkan seusai menyaksikan film ini. Good job, Adele! Sajian pembuka yang istimewa ini dimanfaatkan oleh Mendes untuk menghantarkan kepada jalinan kisah yang lebih dalam, kelam, dan realistis – Hmmm... saya lebih suka menyebutnya, logis. Pengaruh Nolan terhadap cara bertutur film kentara sekali disini. Style-nya yang dipadu dengan milik Nolan memberi cita rasa tersendiri kepada film. Pun begitu, inovasi yang disuntikkan Mendes untuk film Bond yang ke-23 di sini tidak berlebihan. Mendes mengetahui batasan-batasan yang haram untuk dilanggar demi menghormati franchise ini dan tentunya para fans. Rasanya para fans akan tersenyum lebar melihat bagaimana cara sutradara American Beauty ini memerlakukan si agen 007. Lihat saja bagaimana caranya memberikan penghormatan kepada Bond klasik dalam urusan gadget, senjata Walther-PPK, Aston Martin DB5, Vodka Martini ‘shaken not stirred’, hingga villain yang mengesankan disini. Agaknya Natal datang terlalu cepat tahun ini untuk para fans James Bond.
Dalam Skyfall, Bond dihadapkan pada seorang ‘villain’ yang terlihat seperti kombinasi antara Joker dan Anton Chigurh, Raoul Silva (Javier Bardem). Menilik dari penampilan luarnya yang flamboyan, siapa yang menduga dia adalah pribadi yang misterius, busuk, dan berbahaya. Pertemuan antara si pahlawan dan si penjahat ini berawal dari kebocoran data yang dialami oleh MI6. Akibat yang harus ditanggung, beberapa agen MI6 yang identitasnya terbongkar menemui ajalnya. Seakan belum cukup, ledakan bom terjadi di kantor MI6 yang menewaskan delapan pekerja. Serangkaian peristiwa ini menyulitkan posisi M, terutama dengan kehadiran kepala Komite Intelijen dan Keamanan yang baru, Mallory (Ralph Fiennes). Dengan kembalinya Bond dari ‘kematian’, M pun memiliki kesempatan untuk memerbaiki kesalahan-kesalahannya. Bond lantas melancong ke Shanghai dimana dia bereuni dengan Patrice dan bertemu wanita misterius yang menggoda, Severine (Berenice Lim Marlohe), yang lantas menuntunnya kepada Silva. Pada akhirnya, si agen 007 ini pun mau tidak mau kudu berdamai dengan trauma masa lalunya demi menuntaskan misinya.
Daniel Craig kian mempesona setelah dua kali membawakan peran Bond di Casino Royale dan Quantum of Solace. Bond yang kasar, sedikit urakan, tangguh, dan bertubuh atletis, kali ini ditampilkan dengan lebih humoris dan hangat daripada sebelumnya. Penampilannya yang kuat bersanding dengan apik bersama Javier Bardem yang merasuk ke dalam jiwa Silva. Kegilaan ala Joker serta sedikit sentuhan Anton dihadirkannya secara gemilang yang membuat Bardem layak untuk dinominasikan sebagai ‘Best Bond Villain’. Kecemerlangan dua aktor ini mendapat support penuh dari Judi Dench yang memberikan emosi penuh untuk M dalam penampilan terbaiknya di ‘Bond series’. Ralph Fiennes yang kali ini muncul dengan hidung mancung pun tak mengecewakan meski tak berlama-lama di depan layar, begitu pula dengan Ben Whishaw sebagai Q dan Albert Finney sebagai Kincade. Setiap pemain rata-rata bermain solid. Jika ada yang agak mengganggu, maka itu adalah ‘Bond Girls’. Baik Naomie Harris maupun Berenice Lim Marlohe terasa canggung saat disandingkan dengan Craig. Bisa jadi, screen time yang secuil tidak memberi mereka nafas untuk lebih leluasa bergerak.
Selain dari bangku penyutradaraan serta departemen akting, dan tentu saja musik, Skyfall pun unggul dinilai dari pengambilan gambar. Kecekatan Robert Deakins dalam mengabadikan gambar-gambar cantik sepanjang film menjadi daya tarik tersendiri. Usai opening scene yang menakjubkan dimana masyarakat Turki akan memberikan sanjungan tinggi-tinggi untuk Deakins, penonton masih mendapat jamuan mata yang tidak berkesudahan hingga layar berubah menjadi gelap. Simak saja pertarungan ‘intense’ antara Bond dengan Patrice di sebuah gedung pencakar langit dengan latar belakang ubur-ubur bercahaya, lampion-lampion penyambut kedatangan Bond di sebuah kasino, lorong-lorong kota London, hingga pemandangan alam Skotlandia yang cantik sekaligus memberikan rasa dingin menusuk kepada penonton. Sinematografer yang terbiasa bekerjasama dengan The Coen Brothers ini tahu betul dengan keinginan Mendes. Suasana muram senantiasa menggelayuti meski telah ditutupi oleh bidikan gambar yang luar biasa.
Dengan memilih untuk memberikan pendalaman yang lebih kepada tokoh-tokoh utama yang bermunculan, maka konsekuensi yang kudu dikorbankan adalah dengan mengurangi porsi adegan aksi. Setelah kegilaan di menit-menit pertama, Mendes tidak menawarkan sebuah sajian gegap gempita tanpa henti yang membuat penikmat aksi bersorak. Untuk kesehatan para penonton, sutradara peraih Oscar ini mengimbanginya dengan sajian drama penuh emosi. Dalam Skyfall, penonton berkesempatan untuk melihat sisi manusiawi dari Bond dan hubungannya dengan M yang penuh dinamika. Ini diperlukan guna membangun ikatan emosional antara penonton dengan Bond yang akhir-akhir ini cenderung diabaikan. Namun Anda tidak perlu khawatir. Ledakan demi ledakan, berondongan peluru, serta perkelahian tangan kosong masih ditempatkan secara manis dan pas oleh Mendes. Bahkan, sekalipun tidak melulu memanfaatkan ‘action’ untuk meningkatkan tensi, naskah yang digarap secara keroyokan oleh Neal Purvis, Robert Wade, dan John Logan, telah memberikan ketegangan tersendiri yang membuat saya tak henti-hentinya dibuat penasaran dengan apa yang terjadi kemudian. Klimaks yang disuguhkan mungkin kurang ‘wah’ dan terkesan terlalu mudah, tapi adegan yang mengikutinya menjadi obat penawar. Suntikan ‘twist’ di penghujung kisah yang disampaikan secara efektif membuat saya tidak sabar untuk menyaksikan jilid berikutnya. Dan, pada akhirnya, dengan inovasi yang ditambahkan oleh Mendes di sini, Skyfall pun dengan mudah saya nobatkan sebagai film aksi terbaik di tahun 2012, dan tentu saja sebagai salah satu film Bond terbaik. Jalinan penceritaan yang cerdas dan menggugah emosi, berpadu dengan manis bersama aksinya yang mendebarkan, akting yang memukau dan seksi, serta tampilan gambar yang memanjakan mata. Menontonnya sekali tidaklah cukup.
Outstanding