"He's Hitler with a tail. He's "The Omen" with whiskers. Even Nostradamus didn't see him coming!" - Ernie
Beberapa hari terakhir ini saya terhinggapi virus ‘susah move-on’ yang tengah mewabah di berbagai penjuru dunia dan menyerang manusia tanpa mengenal batasan usia, agama, suku, status sosial, maupun jenis kelamin. Sebuah ‘virus’ yang sangat berbahaya. Hanya saja, bukanlah persoalan asmara yang saya hadapi, melainkan... ya Anda tahu sendiri, berkaitan dengan hobi, yang ya Anda tahu sendiri... film. Di tengah pikiran yang sumpek lantaran tak kunjung menemukan gairah membara untuk menyelesaikan omong kosong bernama skripshit, mendadak saya ingin menyaksikan ulang film-film penuh kenangan manis. Maksudnya disini, film-film yang saya tonton di tiga tahun pertama tatkala rasa cinta kepada film mulai bersemayam di hati mungil ini. Maka Anda jangan terheran-heran jika dalam beberapa minggu ke depan Cinetariz akan dihiasi film-film yang disorotkan pertama kali ke layar putih lebar pada tahun 1996 hingga 1998. Dalam perjalanan melongok ke masa lampau, pilihan pertama jatuh kepada MouseHunt yang memasuki bioskop-bioskop Indonesia pada tahun 1998. Ketertarikan saya kepada film ini lebih disebabkan oleh rasa ingin tahu dan kepolosan anak SD. Bagaimana mungkin sebuah film yang nampaknya aman dan ditargetkan untuk konsumsi keluarga – dinilai dari tampilan poster utama dan poster ‘movie stills’ – mendapat cap ‘Dewasa’ dari LSF? Hmmm... Dan saat saya menyaksikannya, pertanyaan itu masih belum terjawab. Jawaban baru saya dapatkan, 14 tahun kemudian! Ouch.
MouseHunt adalah film perdana dari Gore Verbinski yang belakangan Anda kenal sebagai nahkoda kapal dari trilogi Pirates of the Caribbean serta menukangi versi Amerika dari film yang melambungkan nama Mbak Sadako, The Ring. Film yang diproduksi oleh DreamWorks Pictures dengan suntikan dana sebesar $38 juta ini adalah jenis film yang murni dibuat dengan tujuan sebagai hiburan. Tak usah berpusing-pusing memikirkan logika cerita karena Anda hanya akan sakit hati dibuatnya. Just enjoy the movie! Apa yang disajikan oleh Verbinski di sini bak tengah menyaksikan sebuah tampilan ‘live action’ dari animasi tak lekang zaman, Tom & Jerry. Tak ada yang benar-benar menjadi tokoh antagonis dalam film ini, semuanya dikembalikan ke perspektif masing-masing penonton. Apakah Anda akan menilai si tikus sebagai ‘villain’ atau malah justru dua bersaudara yang senantiasa tertimpa kesialan, Ernie Smuntz (Nathan Lane) dan Lars Smuntz (Lee Evans)? Bisa juga para tokoh pendukung yang mana mendapat porsi tampil minor di sini. Anda bebas memutuskan.
Kesialan yang dialami oleh Ernie dan Lars bermula ketika ayah mereka, Rudolf Smuntz (William Hickey), berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Warisan yang ditinggalkannya hanyalah pabrik benang yang kondisinya hidup segan mati tak mau, benda-benda koleksi yang murahan, serta sebuah rumah kuno yang hanya dengan satu tiupan angin saja porak poranda. Tak satupun yang mampu membuat mereka berdua berenang-renang di kolam Dollar layaknya Paman Gober. Namun setelah Lars dicampakkan oleh istrinya yang mata duitan serta Ernie kehilangan restoran yang dikelolanya karena sebuah insiden yang menyebabkan kematian seorang walikota, maka mereka berdua pun mau tak mau menerima peninggalan sang ayah... termasuk mengurus hutang-hutang yang ditinggalkan. Keberuntungan untuk sesaat sepertinya berpihak kepada mereka saat terungkap fakta bahwa rumah warisan sang ayah adalah bangunan bersejarah yang disebut ‘The Missing LaRue’. Lelang pun digelar. Dua bersaudara ini memberikan sentuhan disana sini demi memerbaiki rumah yang telah bobrok. Hanya saja segalanya tidak serta merta berjalan sesuai rencana. Rumah ini ternyata telah dihuni oleh seekor tikus yang enggan begitu saja ditendang ke luar dan berusaha keras untuk tetap bertahan apapun resiko yang dihadapi. Selama film berlangsung yang akan Anda simak adalah bagaimana Smuntz bersaudara kewalahan dalam menaklukkan si tikus ajaib yang dengan lincah berlari kesana kemari seolah-olah mengejek ketidakbecusan para pewaris resmi ini hingga kemudian memanggil pembasmi profesional, Mr. Caesar (Christopher Walken), yang ternyata bertekuk lutut saat berhadapan dengan binatang pengerat yang tak kalah ajaib dengan Jerry itu. Sungguh luar biasa... menjengkelkan.
Terakhir kali saya menyaksikan MouseHunt adalah belasan tahun yang lalu. Apa yang saya rasakan saat ini saat menontonnya kembali pun tak jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan dulu kecuali tertangkapnya detil-detil kecil sekaligus terjawabnya pertanyaan yang sempat menghantui pikiran itu. MouseHunt tetaplah sebuah sajian yang sangat menyenangkan untuk ditonton, lucu, dan tentu saja menghibur. MouseHunt bagaikan perpaduan antara Home Alone dan Tom & Jerry. Asalkan Anda bisa menikmati kedua hidangan tersebut, maka Anda tak akan kesulitan menerima film yang naskahnya dikelola oleh Adam Rifkin ini. Memang ini bukan film yang dicari oleh para pemburu komedi cerdas karena ledakan tawa penonton dipancing oleh lawak slapstik, namun jika apa yang Anda harapkan adalah sebuah tontonan yang mampu membuat Anda tergelak di kala senggang – atau malah stres – tanpa perlu memutar otak demi memahami maksud dan tujuan film dibuat, maka ini film yang tepat. Duduk, rebahkan punggung ke sandaran kursi, selonjorkan kaki, sisihkan sejenak segala macam persoalan yang membebani pikiran dan nikmati apa yang tersaji di layar. Kalau perlu, siapkan pula cemilan dan minuman ringan untuk menikmati Anda bersantai. Uh, nikmat sekali.
Acceptable